Selasa, 01 Desember 2009

MODEL BELAJAR DAN PEMBELAJARAN BERORIENTASI KOMPETENSI SISWA

Ditulis oleh Erman S. Ar.

Drs. H. Erman Suherman, M.Pd. adalah dosen tetap pada FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung

Abstrak: Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di atas dapat terwujud, guru seyogianya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Model belajar akan membahas bagaimana cara siswa belajar, sedangkan model pembelajaran akan membahas tentang bagaimana cara membelajarkan siswa dengan berbagai variasinya sehingga terhindar dari rasa bosan dan tercipta suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.

Kata Kunci: model belajar, model pembelajaran, potensi siswa, kompetensi, life skill, suasana belajar

A. Pendahuluan

Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum 2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada RPP yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah-ekspositori. Guru masih dominan dan siswa resisten, guru masih menjadi pemain dan siswa penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri.

Demikian pula, pada pihak siswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa enjoy dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain dari karena kebiasaan yang sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa. Karena penghargaan terhadap profesi guru sangat minim, boro-boro sempat waktu untuk membaca buku yang aktual, mereka sangat sibuk untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan memang itu kewajiban utama, apalagi untuk membeli buku pembelajaran yang inovatif. Mereka bukan tidak mau meningkatkan kualitas pemebelajaran, tetapi situasi dan kondisi kurang memungkinkan. Permasalahannya adalah bagaimana mengubah kebiasaan prilaku guru dalam kelas, mengubah paradigma mengajar menjadi membelajarkan, sehingga misi KBK dapat terwujud. Dengan paradigma yang berubah, mudah-mudahan kebiasaan murid yang bersifat pasif sedikit demi sedikit akan berubah pula menjadi aktif.

Tulisan sederhana ini sengaja dibuat untuk para guru, yang saya hormati dan saya banggakan, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan, semoga dengan sajian sederhana ini dapat dijadikan bekal untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran, sehingga kualitas amal sholehnya melalui profesi guru menjadi meningkat pula. Tulisan ini membahas tentang kompetensi siswa sesuai tuntutan kurikulum untuk sekedar mengingatkan, model-model belajar agar memahami benar bagaimana siswa belajar yang efektif, dan model pembelajaran yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, materi, fasilitas, dan guru itu sendiri.

B. Kompetensi Siswa

Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia yang artinya setara dengan kemampuan atau pangabisa dalam bahasa Sunda. Siswa yang telah memiliki kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan lain, ia telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang telah dimilikinya, yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life skill). Inilah hakikat pembelajaran, yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki komptensi, kecakapan hidup. Dengan demikian belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami.

Kompetensi siswa yang harus dimilki selama proses dan sesudah pembelajaran adalah kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi, analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi, inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, pemecahan masalah), kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri, pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif, empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Istilah psikologi kontemporer, kompetensi / kecakapan yang berkaitan dengan kemampuan profesional (akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill, yang berkontribusi terhadap sukses individu sebesar 40 % . Sedangkan kompetensi lainnya yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri disebut dengan soft skill, yang berkontribusi sukses individu sebesar 60%. Suatu informasi yang sangat penting dan sekaligus peringatan bagi kita semua.

C. Model-model Belajar

Uraian berikut ini adalah untuk menjawab pertanyaan, bagaimana siswa belajar? Dengan memahami uraian ini, guru (kita) bisa menyesuaikan pelaksanaan pembelajaran dengan kondisi siswa. Bukankah pemberian harus diselaraskan dengan mereka yang akan menerima pemberian sehingga dapat bermanfaat secara optimal, dan tidak sebaliknya.

Model-model belajar yang dimaksud pada judul di atas adalah berbagai cara-gaya belajar siswa dalam aktivitas pembelajaran, baik di kelas ataupun dalam kehidupannya sehari-hari antar sesama temannya atau orang yang lebih tua. Dengan memahami model-model belajar ini, diharapkan para guru (kita semua) dapat membelajarkan siswa secara efisien sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.

Ada berbagai model belajar yang akan dibahas, yaitu:

1. Peta Pikiran

Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain dengan masing-masing karakternya. Demikian pula kata dalam pikiran kita terlintas FKIP Universitas Langlangbuana Bandung akan terkait alamatnya, pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besar penghargaan untuk perkuliahan per-sks. Silakan anda mencoba menuliskan / menggambarkan peta pikiran tentang Bajuri dan FKIP Unla di atas. Kalau dibuat narasinya akan ada perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda.

Dalam bidang studi keahlian anda, misalnya ambil satu materi dalam pelajaran Matematika, Akuntansi, Agama, atau yang lainnya. Silakan buat (tulis-gambar) peta pikiran yang terlintas kemudian narasikan secara lisan. Tulisan atau gambar peta pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep (concept map).

Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis. Mengingat hal itu, sajian guru dalam pembelajaran harus pula dikondisikan berupa sajian peta konsep, guru membumbuinya dengan narasi yang kreatif.

Selanjutnya, Buzan mengemukakan bahwa kemampuan otak manusia dapat memproses informasi berupa bahasa sebanyak 600 – 800 kata permenit. Dengan kemampuan otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan komputer sangat tinggi. Jika benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap kesempatan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran diri dalam segala hal. Hanya sayang banyak orang yang mengabaikannya atau digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat untuk peningkatan kualitas diri, misalnya berangan-angan, menonton, mengobrol atau bercanda tanpa makna. Bagaimana dengan anda?.

2. Kecerdasan Ganda

Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon).

Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.

Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahawa kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40% dipengaruhi oleh hal lainnya.

Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan beragama ini.

Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda yang sifatnya mulkti dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual , Linguistic-verbal, Interpersonal-communication, Musical-rithmic, natural, Body-kinestic, Intrapersonal-reflective, Logic-thinking-reasoning.



3. Metakognitif

Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi.

Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi.

Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.

Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.

4. Komunikasi

Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.

Perhatikan hasil penelitian Jack Canfield (1992), untuk kita simak dan renungkan, bahwa seorang anak ayang masih polos-natural, setiap hari biasa menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari oarng yang lebih tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih dominant dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak selanjutnya pada waktu bwersekolah, belajar menjadi beban dan rasa ercaya dirinya berkurang. Makin lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negative, seperti pesimis, m\udah menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, pembenaran, menimpakan kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang memiliki pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan memilih, punya alternative, partisipatidf, dan mau memperbaiki diri.

Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian negative seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti irtu? Caranya anatar lain dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Mengapa demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.

5. Kebermaknaan Belajar

Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).

Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang berarti bahwa belajar mempunya indikator berkata-pok (bertanya-menjawab-diskusi,presentasi). Mencoba-pek (menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan), dan melaksanakan-prak (mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan). Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.

Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi mencapai 70 %, da belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%.

Drai uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukuop dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on, minds-on, konstruksivis, dan daily life (kontekstual).

6. Konstruksivisme

Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.

Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.

Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).

7. Prinsip Belajar Aktif

Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart, mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan.

Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukan-mengkomunikasikan sehingga kecerdasan emosionalnya dapat berkembang, seperti kemampuan sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini bisa terlatih melalui kerja individual-kelompok,diskusi, presentasi, tanya-jawab, sehingga terpuku rasa tanggung jawab dan disiplin diri.

Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) adalah memiliki indikatro mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik, aksionmatik), empiristic (pngelaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri, melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.

D. Model-model Pembelajaran

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.

Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kjondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.

1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).

Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusis sebagai makhluq sosial yang penuh ketergantungan dengan otrang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembegian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksu konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siawa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.

Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Pensip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

Ada tujuh indokator pembelajarn kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya darei berbagai aspek dengan berbagai cara).

3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)

Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).

Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

4. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)

Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada ketrampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).

5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)

Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemamuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dap[at berpikir optimal.

Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri

6. Problem Solving

Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, .atau algoritma). Sintaknya adalah: sajiakn permasalah yang memenuhi criteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau atuiran yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.

7. Problem Posing

Bentuk lain dari problem posing adaslah problem posing, yaitu pemecahan masalah dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.

8. Problem Terbuka (OE, Open Ended)

Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntuk unrtuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjtynya siswa juda diinta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Denga demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentiuk pola piker, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.

Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan peremasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitakkan dengan materui selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).

Sintaknya adlaha menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat reson siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.

9. Probing-prompting

Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian petanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan engetahuan sisap siswa dan engalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa memngkonstruksiu konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.

Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari prses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi sausana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mngurang kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi

10. Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)

Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan rasyarat, eksplnasi berarti menghenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.

11. Reciprocal Learning

Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mwengemukan bhawa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.

Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.

12. SAVI

Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indar yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan mennaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melallui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunbakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahawa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) nbelajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.

13. TGT (Teams Games Tournament)

Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bis aberbeda. SDetelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamikia kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga terjadi diskusi kelas.

Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:

a. Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan

b. Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesewpakatan kelompok.

c. Selanjutnya adalah opelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisda nmngerjakan lebbih dari satu soal dan hasilnya diperik\sa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja tunamen sesua dengan skor yang dip[erolehnay diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.

d. Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.

e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.

14. VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)

Model pebelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.

15. AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)

Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalama, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.

16. TAI (Team Assisted Individualy)

Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab vbelajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.

Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.



17. STAD (Student Teams Achievement Division)

STAD adalah salah sati model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.

18. NHT (Numbered Head Together)

NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiasp siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomnor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.

19. Jigsaw

Model p[embeajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks sepeerti berikut ini. Pengarahan, iformasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahasa bagian tertentu, tuiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok aasal, pelaksnaa tutorial pada kelompok asal oleh anggotan kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

20. TPS (Think Pairs Share)

Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

21. GI (Group Investigation)

Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengoalahn data penyajian data hasi investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkem\angan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

22. MEA (Means-Ends Analysis)

Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadli koneksivitas, pilih strategi solusi

23. CPS (Creative Problem Solving)

Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.

24. TTW (Think Talk Write)

Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laopran hasil presentasi. Sinatknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.

25. TS-TS (Two Stay – Two Stray)

Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.

26. CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)

Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.

27. SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)

Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (cartat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh

28. SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)

SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.

29. MID (Meaningful Instructionnal Design)

Model ini adalah pembnelajaran yang mengutyamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisi pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaan belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep

30. KUASAI

Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.

31. CRI (Certainly of Response Index)

CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.

32. DLPS (Double Loop Problem Solving)

DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap uyang menyebabkan munculnya masalah tersebut.

Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesdai maslah sebagai berikurt: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasui kausal, imoplementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.

33. DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)

DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengemabangan, penerapan, dan penutup.

34. CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)

Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.

35. IOC (Inside Outside Circle)

IOC adalah mode pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan ssingkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separu dari sjumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkran luar berputar keudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya

36. Tari Bambu

Model pembelajaran ini memberuikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukartan pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depoan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa opertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalkaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satui jajaran pindah ke ujunug lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.

37. Artikulasi

Artikulasi adlah mode pembelajaran dengan sintaks: penyampaian konpetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.

38. Debate

Debat adalah model pembalajaranb dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu setrusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.

39. Role Playing

Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan scenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari scenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan scenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan penimpoulan dan refleksi.

40. Talking Stick

Suintak p[embelajana ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa mebaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepad siswa lain dan guru memberikan petanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.

41. Snowball Throwing

Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyuimpulan, refleksi dan evaluasi

42. Student Facilitator and Explaining

Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi, refleksi.

43. Course Review Horay

Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk pemantapan, siswa atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke dalam kotak, guru membacakan soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan guru berhak menjawab jika jawaban benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore atau yang lainnya, pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

44. Demostration

Pembelajaran ini khusu untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

45. Explicit Instruction

Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-prosedural, langkah demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi kompetensi, mendemontrasikan pengetahuan dan ketrampilan procedural, membimbing pelatihan-penerapan, mengecek pemahaman dan balikan, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

46. Scramble

Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban dengan diacak nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan kartu jawaban, siswa berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok.

47. Pair Checks

Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan temannya mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

48. Make-A Match

Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk badak berikutnya pembelaarn seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

49. Mind Mapping

Pembelajara ni sangat cocok untuk mereviu pengetahuan awal siswa. Sintaknya adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk menanggapi dan membuat berbagai alternatiu jawababn, presentasi hasuil diskusi kelompok, siswa membuat ksimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.

50. Examples Non Examples

Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi, sajikan gambar ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati sajian, diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, valuasi dan refleksi.

51. Picture and Picture

Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan dengan materi, siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru mengkonfirmasi urutan gambar tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

52. Cooperative Script

Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa mempelajari wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang dan yang lain menanggapi, bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

53. LAPS-Heuristik

Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bertisfat tuntunan dalam rangaka solusi masalah. LAPS ( Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa masalahnya, adakah alternative, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan pengecekan.

54. Improve

Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication, Enrichment. Sintaknya adalah sajian pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa latian dan bertanya, balikan-perbnaikan-pengayaan-interaksi.

55. Generatif

Basi gneratif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan ide-konsep awal, tantangan dan restruturisasi sajiankonsep, aplikasi, ranguman, evaluasi, dan refleksi

56. Circuit Learning

Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan dengan pola bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar kondusif dan focus, siswa membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan refleksi

57. Complette Sentence

Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintakas: sisapkan blanko isian berupa aparagraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi, siswa ditugaskan membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan berupa paragraph yang kaliatnya belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi, presentasi.

58. Concept Sentence

Proseduirnya adalah poenyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok heterogen, guru menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tia kelompok membeuat kalimat berdasarkankata kunci, presentasi.

59. Time Token

Model ini digunakan (Arebds, 1998) untuk melatih dan mengembangkan ketrampilan sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), siswa berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.

60. Take and Give

Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu dengan yang berisi nama siswa - bahan belajar - dan nama yang diberi, informasikan kompetensi, sajian materi, pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan mencari teman dan saling informasi tentang materi atau pendalaman-perluasannya kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan seterusnya dengan siswa lain secara bergantian, evaluasi dan refleksi

61. Superitem

Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-bertahap dari simpel ke kompleks, berupa opemecahan masalah. Sintaksnya adalah ilustrasikan konsep konkret dan gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat, berikan sal tes bentuk super item, yaitu mulai dari mengolah informasi-koneksi informasi, integrasi, dan hipotesis.

62. Hibrid

Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-inkuiri-solusi-workshop, virtual workshop menggunakan computer-internet.

63. Treffinger

Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks: keterbukaan-urun ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.

64. Kumon

Pembelajarn dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan, tiap siswa selesai tugas langsung diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali salah guru membimbing.

65. Quantum

Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.

Rumus quantum fisika asdalah E = mc2, dengan E = energi yang diartikan sukses, m = massa yaitu potensi diri (akal-rasa-fisik-religi), c = communication, optimalkan komunikasi + dengan aktivitas optimal.

E. Penutup

Kehidupan akan terasa indah ap[abila ada variasi, sebaliknya akan terasa membosankan jika segalanya monoton tak berubah. Perubahan kea rah perbaikan adalah tuntutan alamiah yang menjadi kebutuhan setiap insane dalam setiap kehidupan.

Manusia telah dibekali akal dan rasa untuk berkreasi, menciptakan inovasi, agar segalanya berubah ke arah yang lebih baik dengan ikhtiar mulai dari diri sendiri. Begitu pulal dalam pembelajaran, penciptaan suasan kondusif perlu dilakukan, karena unsur rasa dalam berpikir selalu turut serta dan tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu penciptaan suasana kondusif perlu dilakukan sehingga dalam belajar siswa tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut dalam berpartisipasi, tidak lagi dirasakan sebagai kewajiban, melainkan memnjadi kesadaran dan kebutuhan, dalam suasana perasaan yang nyaman dan menyenangkan.

Salah satu cara untuk menciptakan suasan yang nyaman dan menyenangkan sert terhndar dari kevbiosanan adalah dengan memahami dan melaksanakan model belajar yang dilakukan siswa, komunikasi positif yang efektif, dan model pembelajaran yang inovatif. Semoga.

Daftar Pustaka

Ary Ginanjar Agustian (2002). Emotional Spritual Quotient (ESQ). Jakarta: Arga.

Burton, L (1993). The Constructivist Classroom Education in Profile. Perth: Edith Cowan University.

Buzan, Tony (1989). Use Both Sides of Yoru Brain, 3rd ed. New York: Penguin Books.

Cord (2001). What is Contextual Learning. WWI Publishing Texas: Waco.

De Porter, Bobbi (1992). Quantum Learning. New York: Dell Publishing.

Ditdik SLTP (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL). Jakarta.:Depdiknas.



Erman, S.Ar., dkk. (2002). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-FPMIPA.

Gardner, Howard (1985). Frame of Mind: The Theory of Multiple Ilntelligences. New York: Basic Bools.

Goleman, Daniel (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.

IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KREATIVITAS SISWA

Ditulis oleh Atit Suryati

Hj. Atit Suryati adalah kepala sekolah di SD Negeri Cangkuang II-IV kecamatan Dayeuhkolot kabupaten Bandung.

Abstrak: Salah satu bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar adalah berpuisi dengan standar kompetensi agar siswa memiliki kemampuan menulis dan membaca yang melibatkan aspek lafal, intonasi, kebermaknaan, ekspresi, dan gagasan. Berpuisi sangat penting dalam membangun karakter siswa karena mengandung unsur seni. Di dalamnya ada aspek rasa keindahan, baik sebagai karya tulis maupun dalam penyajiannya, sehingga dengan berpuisi kecerdasan intelektual, emosional, dan bahkan spiritual siswa dapat tumbuh dan berkembang. Namun demikian, pada umumnya siswa kurang motivasi terahadap materi berpuisi ini, di samping mendapat kesulitan dalam menulisnya juga dalam membacanya, hal ini disebabkan karena kurang penguasaan kosa kata, keberanian rendah dan rasa malu tinggi, pola komunikasi guru-siswa searah, dan budaya belajar yang masih senang menerima. Implementasi pendekatan kontekstual yang selalu terkait dengan dunia empirik siswa, pola komunikasi yang bersifat negosiasi-bukan instruksi, partisipasi siswa tinggi, konstruksivis, dan penciptaan suasana yang nyeman-menyenangkan ternyata dapat mengubah siswa menjadi bergairah dalam berpuisi.

Kata Kunci: pendekatan kontekstual, kreativitas

A. Pendahuluan

Puisi dapat diartikan sebagai hasil karya tulis yang mengandung unsur seni. Mengapa dikatakan demikian ? Karena puisi adalah hasil buah fikir manusia (karya) dalam bentuk tertulis (tidak dalam bentuk lain, misal patung atau lukisan) yang penuh dengan unsur keindahan (rasa-emosi). Jika salah satu saja dari karakteristik tersebut hilang, misalkan unsur seni, tidak lagi disebut puisi, melainkan karya tulis biasa seperti halnya pengumuman, laporan, atau berita.

Dalam berpuisi, baik waktu menulis, mambaca, maupun mendengarkannya, ada nuansa khusus sehingga emosional penulis, pembaca, ataupun pendengarnya terbawa hanyut oleh jiwa dari puisi itu. Lain halnya dengan sajian bahasa yang sifatnya informasi (mungkin) tidak akan menyentuh unsur afektif individu. Dengan demikian, melalui berpuisi sekaligus dapat membangkitkan dan mengembangkan (Bloom, BS dalam Erman, 2003) potensi emosional (affektive, rasa-budi) sekaligus kemampuan berfikir (cognitive, akal-fikir), dan ketrampilan psikis (psychomotoric). Dengan berpuisi, lengkaplah pengembangan potensi individu tersebut di atas, karena ketiganya selalu terbawa serta.

Lain halnya dengan cabang mata pelajaran lain yang konon cenderung lebih memberikan penekanan pada salah satu aspek jatidiri manusia, terutama aspek kognitif. Bahayanya, bila unsur dominan dalam pembelajaran adalah kognitif atau psikomotorik dikhawatirkan manusia menjadi robot-komputer, sebaliknya bila tanpa kognitif cenderung hewani, dan bila hanya afektif yang dominan cenderung emosional dan tidak rasional.

Pembelajaran membaca dan menulis puisi untuk siswa kelas V SD, yang melibatkan ketepatan aspek ( Depdiknas, 2003) lafal, intonasi, kebermaknaan, ekspresi, dan gagasan sangatlah penting bagi siswa dalam mengembangkan ketiga potensi di atas, agar pembelajaran benar-benar menjadi aktivitas memanusiakan manusia secara utuh. Inilah hakekat sebenarnya dari pembelajaran. Seperti dikemukakan oleh Goldman (dalam Erman, 2004) bahwa, kecerdasan individu terbagi ke dalam kecerdasan intelektual (IQ) pada otak kiri dan kecerdasan emosional (EQ pada otak kanan yang saling mempengarahui, di mana IQ berkontribusi untuk sukses hanya sekitar 20% sedangkan EQ bisa mencapai 40%. Pembelajaran berpuisi yang melibatkan otak kiri-kanan, bahkan kecerdasan intelektual (SQ), kedudukannya menjadi sangat penting dalam melatih dan mengembangkan ketiga kecerdasan tersebut untuk setiap individu (siswa) dalam mengembangkan kompetensinya secara terpadu.

Namun demikian, puisi sebagai bagian tak terpisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, sampai sekarang ini dirasakan kurang mendapat perhatian dari siswa. Mereka seakan tidak merasa antusias bahkan terlihat rasa keengganan untuk berpuisi, hal ini mungkin disebabkan karena mereka kurang terbiasa untuk berapreasiasi yang melibatkan aspek akal, rasa, dan ketrampilan. Selain daripada itu pelaksanaan pembelajaran lain masih kurang menuntut hal seperti itu. Pada umumnya pembelajaran dilaksanakan dengan pola guru memberikan segalanya kepada siswa dan siswa tinggal menerima konsep yang sudah jadi, tinggal mendengar, mencatat, memahami, dan mengingatnya. Karena ketidakbiasaan tersebut, pembelajaran puisi yang menuntut kreativitas menjadi sesuatu yang menuntut usaha lebih dari siswa. Atau mungkin pula belum tumbuhnya kesadaran guru dan siswa akan peran berpuisi yang bisa mengembangkan IQ, EQ, dan SQ.

Hal ini ditandai bahwa kebanyakan siswa (atau bahkan guru) enggan untuk berperan aktif dalam kegiatan yang menuntut penampilan, baik berpidato, berpuisi, atau bahkan bernyanyi. Bukankah bernyanyi pada hakekatnya adalah berpuisi dengan iringan nada ? Karena apa terjadi demikian? Biasanya yang terjadi adalah karena masalah sepele, yaitu tidak biasa dan tidak membiasakan berkomunikasi, sehingga yang tumbuh adalah rasa rendah diri, pemalu, dan rasa takut salah. Padahal salah adalah bagian dari belajar, tidak ada pembelajaran tanpa kesalahan, dan tidak pernah salah adalah cirinya tidak belajar. Dengan berpuisi (menulis dan mengkomunikasikan) siswa akan terlatih dalam menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan berkreasi (kreativitas) melalui kegiatan eksplorasi, inkuiri, penalaran, dan komunikasi.

Padahal, menurut teori belajar mutakhir (Peter Sheal, dalam Erman, 2004: 7) mengemukakan bahwa belajar yang paling bermakna hingga mencapai 90 % adalah dengan cara melakukan-mengalami dan mengkomunikasikan. Agar pembelajaran sesuai dengan prinsip tersebut, materi pelajaran haruslah disesuaikan dan diangkat dari konteks aktual yang dialami siswa dalam kehidupannya. Di sinilah guru dituntut untuk membelajarkan siswa dengan memandang siswa sebagai subjek belajar, yaitu dengan cara guru memulai pembelajaran yang dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berfikir, constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereviu kembali pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang diberikan menjadi sangat objektif. Pembelajaran dengan sintaks seperti ini (Depdinas, 2002) menyebutnya dengan istilah Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL).

Dengan pola CTL tersebut di atas, yang bisa memfasilitasi keterlibatan siswa dalam aktivitas belajar yang tinggi, diharapkan kemampuan kreativitas siswa pada pembelajaran berpuisi, dalam arti menulis dan mengkomunikasikan hasil puisinya, menjadi meningkat. Sehingga siswa merasa dihargai dan diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya masing-mnasing, yang pada gilirannya nanti minat belajar meningkat, siswa belajar dengan antusias, dan dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan.

Dari uraian latar belakang permasalahan tersebut di atas, judul proposal penelitian ini, yang diajukan penulis untuk penyusunan skiripsi adalah, Implementasi Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Kreativitas Siswa dalam Berpuisi. Kata implementasi pendekatan kontekstual sebagai variabel bebas (idependen, stimulus) di atas mengandung pengertian pelaksanaan, jadi penulis akan melaksanakan pendekatan pembelajaran kontekstual sebagai unsur inovasi dalam pembelajaran. Peningkatan kemampuan kreativitas sebagai variabel tak bebas (dependen, respons, terikat) dimaksudkan sebagai unsur solusi masalah yang terjadi di lapangan (kelas nyata), sedangkan berpuisi sebagai variabel perantara (intervening) dimaksudkan adalah menulis puisi dan mengkomunikasikannya.

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, masalah penelitian ini dirumuskan, apakah implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam berpuisi ? Secara lebih terinci rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Apakah implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam menulis puisi ?

b. Apakah implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam mempresentasikan puisi ?

c. Unsur-unsur apa saja yang dapat diungkapkan siswa dalam menulis dan mempresentasikan puisi ?

d. Bagaimana pendapat siswa tentang pelaksanaan pembelajaran berpuisi dengan menggunakan pendekatan kontekstual ?

2. Pembatasan Masalah

Permasalahan tersebut di atas bisa ditinjau dari berbagai aspek sehingga pembahasannya bisa sangat luas tetapi dangkal dan kurang terarah. Agar penelitian ini bisa tuntas dan terfokus, sehingga hasil penelitiannya akurat, permasalahan tersebut di atas akan dibatasi pada hal-hal tersebut di bawah ini.

a. Subjek penelitian adalah pada siswa kelas V (sesuai kurikulum) SD Cangkuang Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung semester genap tahun ajaran 2006-2007, sebanyak 5 kali pertemuan @ 2 jam pelajaran (lima RPP)

b. Implementasi (pelaksanaan) pendekatan kontekstual dalam penelitian ini menggunakan model klasikal dan kelompok (koperatif), model klasikal dengan menggunakan teknik probing-prompting yaitu metode tanya jawab yang menyajikan serangkaian pertanyaan kepada siswa yang sifatnya menggali dan menuntun sehingga siswa dapat diarahkan untuk membangun konsep (constructivism), melalui eksplorasi, inkuiri, dan penalaran. Juga digunakan model koperatif dengan menggunakan tipe Investigasi Kelompok (Group Investigastion), STAD (Student Teams Achievement Division), atau TPS (Think Pairs Share)

c. Kemampuan kreativitas dalam berpuisi dimaksudkan sebagai kemampuan siswa dalam menggali, menemukan, dan presentasi ide baru yang orisinal. Dimulai dengan objek konkret dari lingkungan sekitar siswa, diangkat dan disusun dalam kata-kata indah sistematik sehingga menjadi puisi sesuai dengan pemaknaan siswa terhadap objek tersebut. Hal ini menyangkut tema, diksi, tipografi, amanat, dan gaya bahasa. Setelah itu mereka mengkomunikasikannya dengan cara presentasi-menyajikan (dibaca atau ditalar) sesuai dengan kemampuan apresiasi yang dikembangkannya. Hal ini menyangkut lafal, intonasi, ekspresi, improvisasi, pemaknaan, rima, irama, dan keindahan.

C. Tujuan Penelitian

Setiap rencana dari suatu aktivitas tentu memiliki tujuan khas masing-masing, sesuai yang ingin dicapainya sehingga pelaksanaannya bisa terarah, terpola, dan sistematik. Demikian pula dengan penelitian ini memiliki tujuan, yaitu:

1. Untuk mengetahui apakah implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam menulis puisi

2. Untuk mengetahui apakah implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam mempresentasikan puisi

3. Untuk mengetahui unsur-unsur apa saja yang dapat diungkapkan siswa dalam menulis dan mempresentasikan puisi

4. Untuk mengetahui bagaimana pendapat siswa tentang pelaksanaan pembelajaran berpuisi dengan menggunakan pendekatan kontekstual

5. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap, minat, suasana, dan kreativitas siswa sehingga kesadaran terhadap pentingnya pembelajaran berpuisi meningkat

D. Manfaat Penelitian

Menyimak uraian pada tujuan penelitian tersebut di atas, dan dengan tercapainya tujuan tersebut dapat dipetik manfaat penelitian, yaitu:

1. Bagi guru; jika implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatan kemampuan kreativitas siswa dalam menulis dan mempresentasikan puisi, ini adalah pembelajaran inovatif yang mungkin bisa diterapkan pada materi lain?

2. Bagi siswa; akan tumbuh kesadaran bahwa dengan belajar puisi dapat menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sebagai instrumen untuk membentuk pribadi positif. Di samping itu kompetensi kreativitas, sikap, dan minat siswa adalah salah satu unsur dari kecakapan hidup (life skill) yang harus digali melalui pembelajaran.

3. Bagi dunia pendidikan; bahwa paradigma sekarang berubah dari pengajaran menjadi pembelajaran, yang berarti bahwa siswa belajar tidak cukup dengan memperhatikan, menulis, membaca, dan berlatih tetapi pembelajaran adalah membelajarkan siswa (sebagai subjek) dengan cara melakukan-mengalami-mengkomunikasikan. Mulai dari kehidupan nyata siswa diangkat menjadi konsep.

E. Anggapan Dasar

Anggapan dasar (asumsi) adalah pernyataan yang diyakini kebenarannya oleh peneliti tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu, sebagai titik tolak untuk melakukan rencana dan aktivitas. Kenapa demikian ? Karena secara common sense mudah untuk menerima kebenaran tersebut. Begitu pula dalam rencana kegiatan penelitian ini, penulis akan bertitik tolak dari anggapan dasar berikut ini:

1. Peneliti memiliki kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual, dan pendekatan pembelajaran ini tepat digunakan untuk siswa tingkat SD

2. Dengan pengetahuan dan pengalaman dalam belajar bahasa sejak kelas I SD, siswa SD kelas V memiliki kemampuan untuk menulis dan mempresentasikan puisi hasil karyanya

3. Banyak benda-benda sekitar (local materials) kehidupan siswa untuk diangkat menjadi karya satra dalam bentuk puisi.

F. Kajian Pustaka

1. Hakekat Pembelajaran

Paradigma interaksi guru-siswa di sekolah sekarang telah berubah, dari pengajaran (instructional, teaching-instruksional) menjadi pembelajaran (learning), dari guru sebagai subjek (pemain) dan siswa objek (penonton) menjadi siswa sebagai subjek dan guru menjadi sutradara. Dalam pengajaran yang berkonotasi aktivitas guru dengan pola informasi, contoh, tanya-jawab, latihan, tugas, dan evaluasi memandang siswa sebagai wadah kosong yang perlu diisi pengetahuan (sekedar tahu ?) sebanyak-banyaknya, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, berminat atau tidak berminat, yang penting materi (tugas) selesai tersampaikan.

Sebaliknya, dalam konteks pembelajaran, memandang siswa sebagai subyek, jadi berkonotasi pada aktivitas siswa (minds-on dan hands-on). Mengapa demikian ? Karena pada pembelajaran, yaitu membelajarkan siswa – membuat siswa belajar, berasumsi bahwa siswa telah memiliki bekal (potensi) berupa intelektual, emosional, dan spiritual yang perlu dikembangkan dengan fasilitasi dari guru. Jadi belajar dapat dipandang sebagai pengembangan potensi tersebut secara optimal. Prinsip pembelajaran yang dijadikan pedoman adalah (Erman, 2001) siswa pemain - guru sutradara, siswa mengalami-melakukan-mengkomunikasikan, negosiasi - bukan instruksi, konstruksivis dari daily life, orientasi pada kompetensi (pangabisa) tidak sekedar teori, dan nyaman-menyenangkan.

2. Hakekat Siswa SD

Pada umumnya usia siswa SD berkisar pada umur 6 sampai dengan 12 tahun. Piaget (dalam Erman, 2001) mengemukakan bahwa pada usia ini siswa baru memiliki kemampuan berfikir konkrit, yang berarti bahwa mereka bisa belajar secara bermakna (meaningfull) jika menggunakan benda konkrit dari dunia mereka. Oleh karena itu, hindarilah pembelajaran yang sifatnya dominan verbal agar tidak verbalisme.

Pendapat lain, Bruner (dalam Erman, 2001) mengemukakan bahwa siswa akan belajar efektif jika memanipulasi benda konkrit, yang secara intuitif akan melekat pada diri siswa. Pembelajaran menurut Bruner dengan menggunakan pendekatan spiral, dimulai dari hal konkrit ke abstrak – dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks - dari hal yang mudah ke yang sukar. Ini berarti bentuk spiral tersebut vertikal dari bawah ke atas, mulai dengan diameter kecil dan makin membesar. Hal ini sesuai dengan kondisi kemampuan berfikir siswa SD yang masih konkrit dan sederhana.

Jika tidak demikian siswa akan merasa terbebani dengan pengajaran yang bersifat transmisi (searah). Ini akan berakibat fatal, karena pada saat berikutnya kondisi kognitif dan afektifnya terganggu sehingga akan menimbulkan kelelahan, ketakmampuan, kebosanan, kekesalan, kekecewaan, ketakutan, dan stres. Pada tahap lanjut dari kondisi seperti ini muncullah prilaku acuh tak acuh, menghindar, bahkan membenci. Kondisi ini seringkali terjadi karena salah memandang siswa secara utuh, parahnya hal ini tidak disadari oleh guru, dan ini bukanlah pembelajaran tetapi lebih cenderung pada pemerkosaan terhadap potensi siswa.

Menurut Ace Suryadi (Pikiran Rakyat, 09 Maret 2007: 25) dikemukakan bahwa, kecerdasan anak akan berkembang pesat melalui interaksi intensif dengan lingkungan sekitar. Jika tidak, kecerdasan anak justru tidak akan berkembang, interaksi dengan lingkungan sekitar merupakan komponen pentuing untuk melejitkan kecerdasan anak. Sedangkan Maman Djauhari (Kompas, 23 Februari 2007) membelajarkan anak tanpa didasari dengan pengalaman konkrit dari dunia sekitarnya hanya mencapai tingkat mengetahui tanpa makna dan untuk dilupakan.

3. Kecerdasan Ganda

Goldman (dalam Erman, 2004) mengemukakan bahwa, struktur otak sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Sel saraf otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, abstrak, dan simbolik yang berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20%. Otak kanan berkenaan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistik, emosi, kesadaran, spasial, musik-puisi, keindahan-keburukan, dan kreativitas yang berkontribusi untuk sukses individu sebesar 40%. Ary Ginanjar (2005) mengemukakan bahwa ada kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan spiritual (SQ, Spiritual Quotient) yang juga akan berkontribusi terhadap sukses individu, sehingga tidak cukup seorang individu hanya dengan IQ dan EQ, melainkan akan lebih sempurna jika ketiganya, yaitu IESQ.

Goldman (dalam Erman, 2004) mengemukakan bahwa struktur otak sebagai instrumen kecerdasan akan bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan terlalu tinggi-kompleks, bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, misalnya dengan kenakalan dan lamunan. Sebaliknya bila kerja otak tinggi karena tuntutan banyak akan menimbulkan kecemasan, yang bisa dinetralisir (relaksasi) dengan penciptaan suasana kondusif, nyaman dan menyenangkan.

Gardner (dalam Erman, 2004) mengemukakan tentang kecerdasan lain, yaitu kecerdasan ganda (tuple) dalam akronim Slim n Bill, yaitu: Spasial-verbal, berpikir dengan ruang dan gambar; Linguistik-verbal, berpikir dengan kalimat-berbahasa; Interpesonal, berpikir dengan berkomunikasi; Musikal-ritmik, berpikir dalam musik dan ritmik; Natural, berpikir berbasis kontekstual-realistik; Body-kinestik, berpikir dengan mengalami-melakukan; Intrapersonal, metakognitif - berpikir reflektf; Logis, berpikir dengan bernalar.

4. Pendekatan Konstekstual

Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa.

Dengan prinsip penmbelajaran seperti itu, pengetahuan bukan lagi seperangkat fakta, konsep, dan aturan yang siap diterima siswa, melainkan harus dikontruksi (dibangun) sendiri oleh siswa dengan fasilitasi dari guru. Siswa belajar dengan mengalami sendiri, mengkontruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Siswa harus tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya. Di sinilah tugas guru untuk mengatur strategi pembelajaran dengan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan yang baru dan memanfaatkannya. Siswa menjadi subjek belajar sebagai pemain dan guru berperan sebagai pengatur kegiatan pembelajaran (sutradara) dan fasilitator.

Pembelajaran dengan cara seperti di atas disebut pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning, CTL), yaitu dengan cara guru memulai pembelajaran yang dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berfikir, constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereviu kembali pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang diberikan menjadi sangat objektif.

Pembelajaran dalam sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut di atas, ini tidak sulit kalau sudah terbiasa, yang penting ada kemauan kuat untuk mengubah dan meningkatkan kualitas diri. Kurikulum berbasis kompetensi menuntut pelaksanaan pembelajaran model CTL tersebut, karena orientasinya pada proses sehingga siswa memiliki kompetensi-kemampuan-pangabisa, tidak sekedar mengetahui dan memahami. Jangan lupa bahwa kondisi emosional individu akan mempengaruhi pemikiran dan prilakunya, oleh karena itu CTL akan terlaksana dengan optimal jika guru mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif, nyaman dan menyenangkan.

5. Pembelajaran Klasikal dan Koperatif

Istilah klasikal ( Erman, dkk. 2001) bisa diartikan sebagai secara klasik yang menyatakan bahwa kondisi yang sudah lama terjadi, bisa juga diartikan sebagai bersifat kelas. Jadi pembelajaran klasikal berarti pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan di kelas selama ini, yaitu pembelajaran yang memandang siswa berkemampuan tidak berbeda sehingga mereka mendapat pelajaran secara bersama, dengan cara yang sama dalam satu kelas sekaligus. Model yang digunakan adalah pembelajaran langsung (direct learning). Pembelajaran klasikal tidak berarti jelek, tergantung proses kegiatan yang dilaksanakan, yaitu apakah semua siswa berartisipasi secara aktif terlibat dalam pembelajaran, atau pasif tidak terlibat, atau hanya mendengar dan mencatat. Pembelajaran klasikal yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode tanya jawab dengan teknik probing-prompting agar partisipasi dan aktivitas siswa tinggi. Pada umumnya siswa akan belajar (berpikir-bekerja) secara individu, sehingga mereka dapat melatih diri dalam memupuk rasa percaya diri. Dengan teknik ini, indikator dari pendekatan kontekstual tetap diperhatikan.

Pembelajaran koperatif (cooperative learning) adalah pembelajaran dengan (Erman, 2004) cara mengelompokkan siswa secara heterogen (dalam hal kemampuan, prestasi, gender, minat, dan sikap) agar dalam kerja kelompok dinamis. Dalam kelompok mereka bisa saling berbagi (sharing) rasa, ide, pengetahuan, pengalaman, tanggung jawab dan saling membantu, sehingga mereka bisa belajar berkomunikasi-bersosialisasi. Dengan berkelompok mereka akan berlatih pengendalian diri melalui belajar tolerans dengan menghargai pendapat orang lain, berempati dengan merasakan perasaan orang lain, mengikis secara bertahap perasaan malu dan rendah diri tanpa alasan, dan inilah pelatihan kecerdasan emosional sehingga EQ siswa bisa meningkat. Dasar pembelajaran koperatif adalah fitrah manusia sebagai mahluk sosial dengan prinsip belajar adalah bahwa hasil pemikiran dan hasil kerja banyak orang relatif lebih baik daripada hasil sendiri.

Pembelajaran koperatif yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe STAD (Erman, 2004) dengan sintaks (tata urutan aktivitas belajar) sebagai berikut: pengarahan, sajian guru secara klasikal, buat kelompok (4-5 orang), berikan bahan belajar (LKS), diskusi-bekerja kelompok, presentasi hasil kelompok dan diskusi kelas, refleksi pelaksanaan pembelajaran, kuis individual, penghargaan pada kelompok/individu, buat skor kemajuan belajar siswa, tindak lanjut. Tipe koperatif lain yang kan digunakan adalah TPS dengan sintaks sebagai berikut: pengarahan, sajian guru secara klasikal, berikan bahan belajar (LKS), diskusi-bekerja kelompok secara berpasangan 2 orang siswa pada satu meja (think-pairs-share), presentasi hasil kelompok dan diskusi kelas (share), refleksi pelaksanaan pembelajaran (share), kuis individual, penghargaan pada kelompok/individu, buat skor kemajuan belajar siswa, tindak lanjut.

Pembelajaran puisi dengan pola seerti tersebut di atas, dimulai dengan pembelajaran langsung secara klasikal, kerja kelompok 4-5 orang, dan kemudian berkelompok berpasangan 2 orang, dan ada kuis individual, dimaksudkan agar pembelajaran ini secara bertahap dari bimbingan oleh guru secara totalitas, bimbingan oleh teman dalam kelompok banyak oarng kemudian dikurangi, dan akhirnya adalah kemandirian.

6. Kemampuan Kreativitas

Kata kreativitas (creativity) bermakna mempunyai sifat kreatif (creative) yang berasal dari kata to create (mencipta). Berdasarkan etimologi kemampuan kreativitas berarti kemampuan menciptakan sesuatu (ide-cara-produk) yang baru. Jadi, konotasi kreativitas berhubungan dengan sesuatu yang baru yang sifatnya orisinal.

Kajian kreativitas merupakan kajian yang kompleks sehingga bisa menimbulkan berbagai pandangan-pendapat, tergantung dari sisi mana mereka membahasnya dan teori yang menjadi acuannya. Kemampuan kreativitas menurut Munandar (dalam Reni, A, 2001) berkenaan dengan tiga hal, yaitu mengkombinasi, memecahkan masalah, dan operasional. Kemampuan mengkombinasi berdasarkan data atau unsur-unsur yang ada, kemampuan memecahkan masalah berdasarkan informasi yang ada menemukan keragaman solusi dengan penekanan pada aspek kualitas dan efektivitas, kemampuan operasional berdasarkan pada \aspek kelancaran-keluwesan-orisinalitas.

Ausubel (dalam Hamalik, 2002) kreativitas adalah kemampuan atau kapasitas pemahaman, sensitivitas, dan apresiasi dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Aspek lain dari kreativias adalah kemampuan berpikir divergen, yaitu meliputi orisinalitas, fleksibilitas, kualitas, dan kuantitas. Maltzman (dalam Hudoyo), 2000) menambahkan bahwa kreativitas dapat dibentuk dan dilatih dalam proses pembelajaran yang berprinsip pada konstruksivis, melalui penyelidikan, konjektur, penemuan, dan generalisasi. Thorrance (dalam Hamalik, 2002) kreativitas akan muncul berkenaan dengan kesadaran adanya kesenjangan antara pengetahuan siap dengan pengetahuan atau masalah baru, kemudian muncullah beragam alternatif solusi. Sejalan dengan itu, Gagne (dalam Ruseffendi, 2001) kreativitas akan muncul pada diri individu bila ada tantangan baru yang solusinya tidak rutin.

Ditinjau dari segi kemampuan aktivitas otak dalam kaitannya dengan kreativitas, ternyata potensi tersebut memang telah tersedia. Buzan (dalam Erman, 2004) mengemukakan bahwa otak mengolah informasi dalam bentuk hubungan fungsional antar konsep, berupa peta konsep, sehingga terjalin kaitan antar konsep yang satu dengan konsep lainnya. Inilah yang dimaksud dengan struktur kognitif dari Piaget (dalam Erman, 2001) di mana skemata baru akan terbentuk dalam sistem kerja otak dan terkait dengan skemata lain yang sudah terbentuk. Dengan pola sepeti ini, proses belajar siswa diusahakan agar tidak hanya berasimilasi (menyerap pengetahuan) akan tetapi dikombinasikan dengan akomodasi (mengkonstruksi pengetahuan). Kemampuan otak dalam memproses informasi tersebut, sebagai potensi individu -anugrah dari Alloh Swt, Buzan (dalam Erman, 2004) mengemukakan bahwa otak dapat memproses informasi sebanyak 600 –800 kata permenit. Dengan kemampuan otak yang begitu hebat, patut kita syukuri dengan memanfaatkannya dalam kegiatan positif, yaitu dengan cara belajar pada setiap situasi untuk membekali diri. Jika tidak, dan dibiarkan menganggur, maka otak dengan sendirinya akan bekerja pada hal-hal yang kurang bermanfaat seperti berangan-angan dan melamun.

Selanjutnya Munandar (dalam Reni A, 2001) mengemukakan bahwa ciri-ciri kemampuan kreativitas adalah sebagai berikut:

a. Aptitude; berpikir lancar yang menyangkut keragaman (gagasan, saran, pertanyaan, jawaban), kelancaran komunikasi, kecepatan bekerja, melihat kekurangan; berpikir luwes yang menyangkut menghasilkan keragaman (gagasan, jawaban, pertanyaan, sudut pandang, alternatif, interpretasi, aplikasi, pertimbangan, arah pikir); berpikir rasional (ungkapan baru-unik, kombinasi inovatif, cara inovatif, generalisasi); ketrampilan elaborasi (mengembangkan gagasan, merinci objek, merinci solusi, memiliki rasa estetika, menyempurnakan); ketrampilan menilai (menentukan patokan, mengambil keputusan, pertimbangan, merancang, dan kritis).

b. Afektif; kuriositi, rasa ingin tahu (perhatian, kepekaan, pertanyaan, dorongan, keberanian, bereksperimen); imajinatif (membayangkan, meragakan, meramalkan, cermat); tertantang (terdorong, tertarik, keterlibatan, mandiri, ulet, mencoba), berani ambil resiko ( tahan kritik, tidak ragu, bertahan pendapat, mengakui kesalahan, menerima tugas, keyakinan); menghargai (arahan, bimbingan, pendapat, hak, kewajiban, prestasi, eksistensi, sejawat-siapapun, kebebasan, kesempatan)

Pengembangan kreativitas siswa bisa dilakukan dengan cara memberikan bimbingan dalam memecahkan masalah melalui klasifikasi, brainstorming, dan ganjaran.

7. Pembelajaran Berpuisi

Pembelajaran berpuisi pada kalimat di atas dimaksudkan sebagai pembelajaran yang berkenaan dengan menulis puisi dan mempresentasikannya, dua hal yang tidak terpisahkan karena orientasi dari pembelajaran adalah kompetensi berpuisi. Jadi konotasinya adalah kemampuan siswa dalam praktek, dengan penekanan pada aspek kinerjanya. Dalam pembelajaran ini, siswa kelas V SD tidak perlu penekanan secara teori tentang istilah-istilah dalam berpuisi akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana praktek membuat dan mempresentasikan puisi, yang materinya sesuai dengan kehidupan siswa sehari-hari, dengan menggunakan pembendaharaan kata yang luas, susunan kata-kalimat yang logis, gaya bahasa yang tepat, dan memuat unsur esensial puisi yaitu rima, ritme, diksi, larik, amanat, irama, dan tipografi.

Pada pertemuan pertama, setelah pembukaan pembelajaran, dengan memotivasi dan apersepsi tentang materi puisi pada semester ganjil, guru membacakan contoh puisi (diambil dari buku sumber) kemudian siswa menanggapinya melalui tanya jawab lisan. Selanjutnya guru melaksanakan pembelajaran, dalam hal ini aspek bimbingan guru masih dominan, sehingga model yang digunakan adalah pembelajaran langsung dengan metode tanya-jawab teknik probing-prompting. Namun demikian, dengan penggunaan model ini aktivitas siswa tetap tinggi melalui kegiatan investigasi (penyelidikan), konjektur (menduga), inkuri (menemukan), brainstorming (urun pendapat), dan konstruksivis (membangun konsep). Mereka secara bersama menyusun suatu puisi yang kemudian mencoba mempresentasikannya dengan improvisasi dan apresiasi masing-masing.

Sintaks pembelajaran tersebut adalah:

a. Kegiatan Pendahuluan

Memfokuskan perhatian dan memotivasi siswa, apersepsi, informasi kompetensi dasar, manfaat materi bahan ajar, serta rencana aktivitas pembelajaran.

b. Kegiatan Inti

Guru memperlihatkan setangkai bunga melati yang masih segar kepada seluruh siswa, kemudian serangkaian pertanyaan diajukan secara teratur kepada seluruh siswa berkenaan dengan bunga melati tersebut. Misalnya, siapa yang tahu nama bunga ini ? siswa menjawab serempak dan guru memintanya kepada seorang siswa dan menuliskannya di papan tulis. Kemudian guru memberikan probing (pertanyaan menggali), apa yang engkau ketahui tentang bunga melati ini ? (mungkin siswa merenung atau bingung dalam memberikan jawabannya, karena pertanyaan tersebut sangat terbuka), kemudian guru memberikan prompting dengan pertanyaan bimbingan-terarah-fokus, apa warnanya ?, bagaimana baunya ?, bagaimana ukurannya ?, di mana tumbuhnya ? apa manfaatnya ? apakah semua orang menyenanginya ? , dan semacamnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya tidak diberikan sekaligus, namun secara berkala tergantung jawaban siswa pada pertanyaan sebelumnya. Pemberian teknik probing-prompting dilakukan fleksibel sehingga siswa terarah-terbimbing-tergali pengetahuannya. Semua jawaban siswa dituliskan pada papan tulis.

Kemudian dengan pengarahan dari guru siswa dibimbing untuk menghaluskan dan menyempurnakan jawaban-jawaban siswa pada papan tulis, dengan cara memberi jiwa pada kalimat-kalimat yang telah ditulis dan diberi hiasan kata-kalimat estetika, yaitu dengan menganggap bahwa bunga melati itu sesuatu yang hidup, dengan cara menyebutnya menggunakan kata ‘engkau’. Target hasil penyempurnaan jawaban siswa yang tertulis pada papan tulis, melalui serangkaian tanya jawab yang sifatnya menggali, terarah, dan terbimbing adalah sebuah puisi seperti berikut ini.



MELATI

Melati, engkau bertubuh kecil tetapi engkau mungil menarik hati

engkau berwarna putih bersih dan berbau harum mewangi

di mana engkau berada selalu menambah asri

di mana engkau tinggal selalu menebar harum pada sekitar

kepada engkau setiap orang senang dan sayang

.................

Melati, aku ingin jadi sepertimu

meski aku masih kecil aku ingin menarik hati

pikir dan hati ini ingin putih bersih sepertimu

namaku ingin pula harum mewangi

di mana aku berada aku ingin disenangi

di mana aku tinggal aku ingin berguna

aku ini disayangi setiap orang



Setelah puisi tersebut jadi, kemudian guru mendeklamasikannya dengan penuh improvisasi, dengan intonasi dan ritme yang menggugah jiwa, sehingga kata demi kata, baris demi baris, jiwa puisi itu meresap masuk ke dalam akal dan rasa mereka (siswa). Selanjutnya, setelah jeda sebentar, setelah siswa mencermati jiwa puisi tersebut, guru memberi kesempatan kepada beberapa siswa untuk mendeklamasikannya bergiliran.

Kemungkinan lain guru menugaskan siswa untuk membayangkan tentang benda yang paling banyak disenangi oleh kebanyakan orang termasuk siswa, misalkan ‘televisi’. Dengan teknik probing-prompting melalui brainstorming seperti di atas, dengan menganggap diri mereka sebagai televisi, jadi sebutannya sekarang bukan ‘engkau’ melainkan ‘aku’, guru mengarahkan siswa untuk menulis puisi seperti berikut ini.

SIAPAKAH AKU ?

Aku bukan asli Indonesia

jadi bukan suku Jawa ataupun Sunda

tapi kebanyakan orang kepadaku merasa suka

hingga aku sering ikut berkumpul bersama mereka

Aku punya tentang segala berita

aku punya tentang segala ilmu pengetahuan

aku bisa menghibur dengan segala cara

dan aku bisa memberi tontonan dan tuntunan



Hanya sayang

terkadang aku merasa kasihan

penggemarku seringkali keterlaluan

mereka lupa bekerja dan lupa belajar

mereka sungguh terlalu

meski malam telah terlampau larut

padahal mata telah terkantuk

tak tahu waktu mau terus bersamaku

..........

Aku bukan wanita bukan pula lelaki

aku hanyalah hasil produksi

aku hasil karya canggih abad ini

manusia menyebutku televisi



Dari puisi yang telah dibuat bersama (mungkin tidak persis-tepat seperti di atas), guru membahas puisi tersebut tentang contoh-contoh dari istilah dasar puisi, seperti tema, gaya bahasa, rima, ritme, diksi, larik, tipografi, amanat, dan irama. Begitu pula dalam presentasinya di kenalkan mana yang disebut dengan apresiasi, improvisasi, intonasi, penjiwaan, imajinasi, gerak, mimik, dan jeda-tempo.

c. Kegiatan Penutup

Guru kembali bertanya-jawab dengan siswa untuk menyimpulkan kegiatan pembelajaran pada hari itu sekaligus mangadakan refleksi, kemudian memberikan arahan untuk menyiapkan kegiatan pada pertemuan yang akan datang dan memberikan tugas untuk menulis puisi dengan tema (judul) benda dari dalam atau sekitar rumah (permainan) mereka.

Dari kegiatan tersebut, secara implisit indikator-indikator pembelajaran kontekstual terakomodasi dan terlaksana.

Pada kegiatan pembelajaran pertemuan berikutnya, sajian pelajaran menggunakan model koperatif. Pada pertemuan kedua dan ketiga dengan koperatif tipe STAD dengan sintaks (erman, 2004): pengarahan, sajian guru secara klasikal, buat kelompok 4-5 siswa, berikan bahan belajar (LKS), siswa berdiskusi-bekerja kelompok, presentasi hasil kelompok dan diskusi kelas, refleksi pelaksanaan pembelajaran, kuis individual, penghargaan pada kelompok/individu, buat skor kemajuan belajar siswa, tindak lanjut. Rencana tema (judul) puisi pada pertemuan kedua adalah tentang ‘buku’ dan pada pertemuan ketiga tentang ‘pensil’. Pada pertemuan keempat dan kelima menggunakan tipe koperatif lain yaitu TPS dengan sintaks: pengarahan, sajian guru secara klasikal, berikan bahan belajar (LKS), siswa berdiskusi-bekerja kelompok secara berpasangan 2 orang siswa pada satu meja (think-pairs), presentasi hasil kelompok dan diskusi kelas (share), refleksi pelaksanaan pembelajaran, kuis individual, penghargaan pada kelompok/individu, buat skor kemajuan belajar siswa, tindak lanjut. Rencana judul puisi pada pertemuan keempat adalah tentang ‘guru’ dan pada pertemuan kelima tentang ‘ibu’.

Pada pertemuan keenam diadakan evaluasi hasil belajar (post-test) dengan cara guru menugaskan siswa untuk membuat puisi yang berjudul ‘air’, semua siswa membuat puisi dengan judul yang sama. Evaluasi ini tidak bersifat pengetahuan melainkan kemampuan menulis dan mempresentasikan puisi, sesuai dengan amanat kurikulum.

Perlu dicatat bahwa, pada akhir pertemuan kesatu-kedua-ketiga siswa ditugaskan untuk melatih diri menulis puisi dengan judul dibuat sendiri dari lingkungan kehidupannya secara berkelompok, pada akhir pertemuan keempat-kelima tugas yang serupa yang dikerjakan secara individu. Aktivitas pemblajaran tidak perlu selalu dilakukan di dalam ruang kelas, bisa juga dilaksanakan di halaman sekolah atau tempat lain yang memungkinkan. Penilaian proses dilakukan terhadap aktivitas siswa (menulis dan mempresentasikan) serta portofolio berupa hasil karya siswa, sebagai reward hasil karya siswa ditempel pada dinding kelas.

8. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teori yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, ternyata bahwa pendekatan kontekstual dapat membelajarkan siswa secara optimal, karena semua komponen dari CTL, yaitu daily life, modeling, questioning, inquiry, constructivism, learning community, authentic assessment, dan reflection dalam suasana kondusif, nyaman dan menyenangkan, bisa membangun kecerdasan siswa secara utuh yaitu IQ, EQ, maupun SQ. Kondisi ini seraca langung akan mempengaruhi kemampuan kreativitas siswa, sehingga hipotesis penelitian yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:

a. Implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam menulis puisi

b. Implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam mempresentasikan puisi

c. Sebagian besar unsur-unsur dasar (indikator) dalam menulis dan mempresentasikan puisi dapat diungkapkan oleh siswa

d. Pendapat siswa tentang pelaksanaan pembelajaran berpuisi dengan menggunakan pendekatan kontekstual sangat baik (positif)

9. Metodologi Penelitian

a. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V tahun ajaran 2006-2007, di lingkungan SD Cangkuang II kecamatan Dayeuhkolot kabupaten Bandung, yang berlokasi di desa Cangkuang Kulon sebanyak 37 orang. Karakteristik siswa di Lingkungan sekitar sekolah tergolong masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan pekerjaan orang tua pada umumnya adalah pegawai negeri, pegawai swasta, dan wiraswasta-pedagang kecil. Siswa lulusan SD Negeri Cangkuang dan pada umumnya menjadi siswa di SMP Negeri dan Swasta sekitar daerah jalan Cibaduyut, Palasari, Kopo, dan Sukarno Hatta, tapi banyak juga yang tidak melanjutkan studi karena alasan ekonomi orang tua.

b. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research) dengan tindakan berupa pelaksanaan pendekatan kontekstual, yang merupakan suatu inovasi pembelajaran yang sama sekali belum pernah diterapkan pada pembelajaran di SD Cangkuang II kecamatan Dayeuhkolot kabupaten Bandung.

c. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu instrumen pelaksanaan penelitian (pembelajaran) dan instrumen pengumpul data hasil penelitian. Instrumen pelaksanaan pembelajaran terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk 5 kali pertemuan @ 2 jam pelajaran dan Lembar Kerja Siswa (LKS), sedangkan instrumen pengumpul data berupa Instrumen kinerja siswa berkenaan dengan kemampuan kreativitas dalam menulis dan mempresentasikan puisi. Instrumen ini memuat penilaian terhadap komponen-indikator kreativitas pada penulisan dan presentasi puisi. Skor penilaian yang digunakan adalah cara yang lazim dilakukan di SD, yaitu skala 0 –10. Instrumen pengumpul data penelitian yang lain adalah berupa angket untuk mengetahui pendapat siswa tentang pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada pembelajaran berpuisi.

10. Hasil Penelitian

Setelah data terkumpul melalui observasi dan angket, ternyata semua hipotesis yang diajukan dapat diterima, hal ini berarti bahwa:

a. Implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam menulis puisi. Hal ini terlihat dari hasil observasi dan pemeriksaan hasil karya tulisan puisi dengan aspek kemampuan kreativitas menulis puisi, yaitu perbendaharaan kata, gaya bahasa, tema, rima, diksi, tipografi, amanat, irama, imajinasi dan ilusi pada setiap pertemuan menunjukkan nilai rerata yang makin meningkat.

b. Implementasi pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dalam mempresentasikan puisi . Hal ini terlihat dari hasil observasi pada presentasi-penampilan dalam setiap pertemuan dengan aspek kemampuan kreativitas dalam presentasi puisi, yaitu kepercayaan diri, kekuatan penjiwaan, kejelasan lafal kata-kalimat, intonasi, ekspresi, apresiasi, gerak fisik, mimik muka, pengendalian diri, dan penggunaan media menunjukkan nilai rerata yang makin meningkat.

c. Sebagian besar unsur-unsur dasar (indikator) dalam menulis dan mempresentasikan puisi dapat diungkapkan oleh siswa. Hal ini ditunjukkan dari hasil karya tulis puisi dan observasi pada kegiatan menulis dan presentasi puisi hasil karya siswa di kelas menunjukkan makin lengkapnya unsur puisi yang terkandung pada hasil karya siswa.

d. Pendapat siswa tentang pelaksanaan pembelajaran berpuisi dengan menggunakan pendekatan kontekstual sangat baik (positif). Hal ini terlihat dari hasil angket yang diisi oleh siswa, dengan pengolahan data menggunakan skala Likert, mempunyai nilai rerata 4,6 jadi mendekati nilai sangat baik (5)

11. Rekomendasi

Pembelajaran puisi yang sebelumnya dengan menggunakan pembelajaran ekspositori (ceramah bervariasi) kurang diminati oleh siswa, hal ini terlihat dari keengganan dan keslulitan mereka untuk menulis dan mempresentasikannya. Dalam menulis pada umumnya buntu pemikiran sedangkan pada presentasi terasa hambar tidak dijiwai, apalagi bila ditinjau secara detail berkenaan dengan unsur-unsur puisi. Ternyata dengan penggunaan pendekatan kontekstual yang dimulai dengan dunia empirik siswa secara aktual, dengan objek puisi diambil dari dunia siswa sehari-hari, meskipun pada mulanya belum terbiasa lama kelamaan secara bertahap, lambat laun siswa menunjukkan gairah belajar yang meningkat. Hal ini ditandai dengan makin lengkapnya unsur puisi yang muncul, makin dijiwainya pada waktu presentasi sehingga unsur seninya makin tampak. Hal yang lebih penting lagi, suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan dapat tercipta, kecerdasan intelektual , emosional, dan spiritual siswa dapat ditumbuhkembangkan secara optimal.

Dari pengalaman tersebut, penulis yakin dengan mengimplementasikan pendekatan konstekstual untuk mata pelajaran lainpun akan memiliki nilai lebih dan positif, meskipun pada tahap awal akan ada kendala. Hal ini biasa karena mengubah suatu kebiasaan perlu waktu dan kesabaran, secara bertahap akan menjadi lebih baik. Insya Alloh.

Daftar Pustaka

Ary Ginanjar A. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, ESQ, Jakarta: Penerbit Arga.

Depdiknas (2003). Kurikulum 2004; Standar Kompetensi Kelas V Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Puskur Dit PTK-SD

Depdiknas (2002). Pendekatan Kontekstual ; Contextual Teaching and Learning. Jakarta: Direktorat PLP

Erman, S. Ar. (2004). Model-model Pembelajaran Matematika. Bandung: LPMP Jawa Barat.

Erman, S.Ar, dkk. (2001). Common Text Book, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-FPMIPA UPI

Erman, S.Ar. (2002). Evaluasi Proses dan Hasil Belajar matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.

Hamalik, Oemar (2002). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.

Maulana, Soni Farid (2004). Menulis Puisi Satu Sisi. Bandung: Pustaka Khalifah.

Maman Sulaeman, Maman (2006). Analisis Struktur Karya Satra Fiksi. Bandung: Uninus.

Ruseffendi, ET (1994). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang.

Sudjana (1980) Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito.

Suharsimi Arikunto (2002). Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.